Sabtu, 24 Maret 2012

FEMINISME

NI DYAH TANTRI DALAM TANTRI CARITA
Kajian Feminisme

Ida Bagus Purnawan


1.     Pendahuluan
Tantri Carita merupakan ceritera rakyat (folklor) yang berkembang pesat di Bali, baik sebagai teks maupun konteks. Tantri Carita sebagai teks dikaji, antara lain Suarka dalam bentuk disertasi yang sudah diterbitkan menjadi buku Tantri (2007), Sukarma (2008) menulis Ni Dyah Tantri sebagai retorika dalam Jurnal Dharma Smerrthi, dan Budi Utama menulis dalam jurnal yang sama dengan judul Tantrayana dalam Tantri: kuasa, pengetahuan, dan seksualitas (2008).

Tantri Carita menjadi konteks tradisi Bali digunakan dalam rangka upacara yadnya, yaitu lebih dikenal dengan nantri. Dalam dunia praksis bergama Hindu di Bali, bahkan kakawin Tantri dapat disejajarkan dengan Kakawin Arjuna Wiwaha, Ramayana, dan Mahabharata karena ketiganya disenandungkan secara bergantian pada saat upacara agama berlangsung.

Dalam Tantri Carita dijelaskan bahwa Ni Dyah Tantri dan wanita lainnya di Kerajaan Patali mendapat perlakukan yang tidak manusiawi. Mengingat raja membutuhkan seorang wanita setiap malam untuk memuaskan nafsu birahinya. Sebaliknya, juga di Bali terdapat kepercayaan kepada Tantrayana yang lebih memosisikan wanita lebih aktif daripada pria, seperti dijelaskan dalam konsep ardanareswari, purusa-predana, siwa-durga. Predana dan durga dijelaskan menjadi aspektif dari purusa dan siwa, tanpa aspek sakti ini kosmologi tidak lagi berjalan dalam kehidupannya.

Ini alasan menarik untuk mengkaji Ni Dyah Tantri dalam sebuah kajian fenisme, selain karena feminisme tidak banyak dibahas, baik dalam mimbar akademik maupun dalam kehidupan sosial masyarakat Bali. Mengingat feminisme lebih banyak bergema di dunia-Barat yang memang memiliki kecenderungan menganut ideologi fatherisme, seperti fatherland. Hal ini ditunjukkan oleh semakin melemahnya makna mothering, sebagaimana digugat Yulia Cristeva (2002) dan lebih lanjut dieksplor Hidayat (2004).


2.     Sinopsis Tatri Carita
Tantri Carita berkisah tentang seorang raja di kerajaan Patali, Sri Maharaja Aiswarya Dala. Seorang raja yang berkeinginan menikmati kesenangan duniawi, kenikmatan hubungan seksual melebihi kesenangan orang pada umumnya. Untuk itu sang raja memerintahkan Rakian Patih Bandeswara menghaturkan dara perawan setiap malam lengkap dengan upacara samskara wiwaha sebagai pemenuhan kenikmatan asmara. Hari demi hari terlewati, bulan pun berganti tahun. Kebingungan dan kesedihan mendalam menimpa Rakian Patih Bandeswara karena tidak bisa mempersembahkan dara perawan. Di wilayah kerajaan Patali para gadisnya sudah habis dipersembahkan setiap malam kepada sang raja. Ketakutannya semakin memuncak ketika ia sadar bahwa yang tersisa hanya seorang dara perawan saja, itupun anaknya sendiri yang bernama Ni Diah Tantri. Akan tetapi, sebagai anak suputra sadhu gunawan, Ni Dyah Tantri menyadari masalah yang dihadapi ayahandanya sehingga bersedia menyerahkan dirinya kepada baginda raja. Penyerahan diri ini dilandasi oleh tekad untuk menyadarkan Sang Raja dari kegelapan asmara duniawi sehingga negara terbebas dari penderitaan. Ia bertekad memberikan penjernihan pikiran dan pencerahan keyakinan kepada Sang Raja yang dalam kegelapan nafsu sehingga membuat rakyat menderita.

Diceriterakan Ni Diah Tantri bersama Baginda Raja di pelaminan. Atas permintaan sang raja iapun berceritera seputar sloka Tantri karangan Rsi Bhasubhaga yang berjudul Nandhaka Harana tentang smara dhahana ketika burung Garuda menghadap Dewa Wisnu. Selain itu, juga ceritera tentang penciptaan alam semesta, Bhagawan Wasistha yang menerima anugerah lembu betina bernama Nandini; pendeta miskin Sri Dharma Swami yang mendapat pahala brata berupa lembu jantan Nandaka; dan perjalanan lembu Nandhaka yang akhirnya bersahabat dengan Sri Singhadipati. Selanjutnya, ia menceritakan ceritera berangkai tentang Prabu Gaja Druma yang kurang wiweka memilih Patih dan ceritera Bhagawan Sri Yadnya Dharma Swami.

Singkat ceritera, Sang Raja Aiswarya Dala mengagumi kepandaian Ni Diah Tantri berceritera. Sang raja berkata, “pantaslah para bhiksuka memberimu nama Ni Diah Tantri”. Melayang-layang perasaan Sang Raja, rasanya melintas di jagatraya, dan rasanya tiada lagi istri lain karena yang melintas dibenaknya hanya Ni Diah Tantri. Rasa bahagia ini juga dirasakan oleh penghuni kraton, apalagi Rakian Patih Bandeswara bagaikan dapat menemukan alam surga karena sebentar lagi anaknya, Ni Diah Tantri akan menjadi permaisuri kerajaan Patali.

3.     Banalitas Seksual: Kontradiksi Peradaban
Ketaksinkronan cara hidup Sang Raja dengan cara hidup masyarakatnya yang  ditunjukkan oleh ketaklaziman perilaku seksualnya berdasarkan kode budaya dapat dikategorikan sebagai ketidakwarasan atau keabnormalan. Akan tetapi, kegilaan Sang Raja pada perawan, yang tidak konvesional merupakan tegangan yang telah mendorong hadirnya peran Ni Dyah Tantri sebagai kewarasan dan kenormalan yang konvensional. Ini bermula dari peran Ki Patih sebagai intrumen intelektual yang dibodohkan menjadi alat pemuas nafsu kegilaan Sang Raja. Ki Patih tidak dapat berbuat lain, kecuali patuh dan memenuhi keinginan Sang Raja. Selama persediaan perawan dalam gudang Patali masih memadai dan selama itu tidak terjadi permasalahan sehingga Ki Patih pun tetap berperan pintar dalam kebodohannya. Peran ini pun berjalan aman dan lancar karena Ki Patih belum ketiban “batunya”. Persoalan mulai muncul ketika stok gadis persembahan telah mencapai titik kering-kerontang, apalagi yang tersisa hanya satu-satunya perawan dan itu pun milik Ki Patih sendiri. Di atas persoalan inilah Ki Patih berperan sebaliknya, menjadi bodoh dalam kepintarannya sehingga terpaksa menghadirkan tokoh Ni Dyah Tantri.

Menghadirkan kembali Ni Dyah Tantri berdasarkan kontras antara peradaban  modern dan pramodern pada dasarnya merupakan upaya menempatkan konvensi-konvensi budaya di antara kewarasan dan kegilaan. Berdasarkan gagasan budaya modern bahwa kebenaran adalah kewarasan yang rasional dan konsensus yang koheren sehingga untuk sampai pada tegangan kausalnya dapat dibangun seting peran para aktor Tantri Carita sebagai berikut. Pertama, peran Sang Raja yang gila kenikmatan seksual dapat dilihat sebagai kegilaan permainan nafsu inderawi dan kekuasaan sehingga Sang Raja mampu menjadi manipulator budaya masyarakatnya. Permainan ini juga tidak lepas dari konsep dewa-raja bahwa raja adalah titisan dewa sehingga segala ucapannya adalah kata-kata kebenaran yang harus dipatuhi. Konvensi budaya diletakkan pada rasionalitas nafsu dan kekuasaan sehingga memaksa kehadiran peran tokoh lain, peran intelektual, Rakian Patih Bandeswara. Kedua, peran Ki Patih juga tidak jauh dari permainan ini, bahkan sekaligus menjadi instrumen bagi permainan itu sendiri. Pada mulanya memang peran Ki Patih tidak lebih dari sekadar alat pemuas nafsu-kekuasaan Sang Raja belaka, walaupun akhirnya ia terlibat langsung dalam permainan itu. Kedua tokoh ini dengan mudah mempermainkan realitas dunia kehidupan manusia atas kemauan dan kemampuan rasionalitas yang melekat padanya karena permainan antara nafsu, kekuasaan, dan intektual pada dasarnya merupakan “permainan bahasa” dalam khazanah peradaban dusta. Pada tataran ini peran kedua tokoh ini dapat dikategorikan sebagai yang “gila”; walaupun Ki Patih karena hanya alat demi berjalannya permainan sehingga tidak sepenuhnya harus menerima penilaian ini. Sampai di sini Ki Patih telah berhasil memainkan konvensi budaya hingga akhirnya ia harus menghadapi kenyataan bahwa putrinya, Ni Dyah Tantri merupakan gadis satu-satunya di kerajaan Patali yang harus dipersembahkan kepada Sang Raja.

4.     Perebutan Feminisme Ni Dyah Tantri
Ketegangan Ki Patih ini, antara peran yang dimainkan dan kenyataan kehidupan yang dijalaninya kemudian, Ni Dyah Tantri dihadirkan untuk mengatasi ambiguitas realitas dunia kehidupan manusia. Di sini peran Ki Patih telah berubah dari instrumen menjadi penikmat. Pada peran yang pertama jiwanya sama sekali tidak terpengaruh dan terbebas dari akibat, sedangkan pada peran yang kedua jiwanya sangat terpengaruh dan tidak bebas dari akibat (sehingga ia bersedih dan kebingungan karena anaknya harus menjadi barang persembahan). Pada peran yang pertama, Ki Patih hanyalah berfungsi sebagai instrumen bagi permainan nafsu-asmara Sang Raja sehingga fungsinya ini lebih sebagai pengabdian daripada peran sebagai ayah. Akan tetapi, berbeda dengan peran yang kedua, Ki Patih benar-benar telah menjadi bagian internal dari seluruh permainan itu sehingga fungsinya berubah menjadi peranan yang berimplikasi pada kegelisahan jiwanya. Pada peranannya ini, Ki Patih telah menikmati permainan kehidupan manusia berdasarkan konvensi budaya yang sulit dimanipulasinya karena jiwanya terlibat secara langsung dalam permainan. Ia tidak tega mempersembahakan anaknya karena ia tahu nasib yang akan menimpa anaknya, bila dipersembahkan kepada Sang Raja. Ia marah kepada Sang Raja, tetapi tidak mungkin menampakkannya. Ia benci kepada Sang Raja, tetapi tidak mungkin menunjukkannya. Perasaan cinta kepada Sang Raja dan cintanya kepada anaknya dipertarungkan karena harus ada pemenang. Menolak menghaturkan anaknya kepada Sang Raja, sama saja bertindak murtad terhadap junjungan dan mati adalah hukumannya. Sebaliknya, menghaturkan anak kepada Sang Raja sama saja telah membunuh anak tercinta sebelum dilahirkan. Rupanya dua jenis cinta berkecamuk di hati Ki Patih yang telah membuatnya berada pada posisi sulit yang tidak mungkin disampaikan kepada siapapun.
Dalam situasi inilah Ki Patih kelimpungan, perutnya kesakitan karena mual-mual, seperti pengantin wanita sedang ngidam, berasa ingin muntah-muntah, tetapi dari mulutnya yang keluar hanyalah keluh-kesah dan penyesalan yang amat mendalam. Oleh karena tidak bisa menahannya, ia pun memuntahkan kemarahan dan kekesalan kepada dirinya sendiri. Kepekaaan empati keluarga rupanya segera menjadi penawar sakit perut Ki Patih. Istri Ki Patih misalnya, melalui satya pati brata memberikannya kekuatan untuk menyadari kebodohan Ki Patih dalam kepintarannya menjalankan loyalitas dalam peran-peran pengabdiannya kepada Sang Raja dan Kerajaan Patali. Kemudian, anaknya atas dasar bhakti yang mendalam, yang memang memiliki ketangguhan spiritual yang diekspresikan dalam tata-laku sopan-santun segera melakukan tindakan penyelamatan. Kebingungan dan ketersesatan Ki Patih dalam permainannya sendiri terselamatkan oleh anaknya, Ni Dyah Tantri.
Pengalaman Ki Patih telah menunjukkan bahwa dunia-hidup-manusia rupanya sarat dengan kontradiktif norma dan nilai yang bukan saja hadir dari pandangan-dunia yang berbeda, melainkan juga dari pandangan-dunia yang sama. Setiap subjek (pelaku budaya) yang dibatasi struktur dan kultur senantiasa menciptakan tatanan nilai baru. Nilai-nilai baru ini dibangun berdasarkan kebutuhan dunia majinasi dan aktualnya yang selaras dengan ketegangan yang dihadirkan melalui alur-alur konvensi yang keluar dari tatanan normal dan rasional, anomali rasionalitas. Di antara tegangan-tegangan ini peran Ni Dyah Tantri dibangun sebagai aktor yang ketiga. Peran penyelaras kehidupan yang diliputi paradoksal nilai-nilai dan kontradiktif norma-norma dalam dunia praksis. Jalan hidup memang susah ditebak, tetapi pada tataran ini peran Ni Dyah Tantri dapat diletakkan pada kesesuaian antara konvensi budaya dan tindakan rasional sehingga ia termasuk ke dalam kategori sebagai yang “waras”. Malahan dapat disebut superwaras karena niat dan hasratnya menjernihkan dan mencerahkan Sang Raja demi mengatasi penderitaan rakyat. Ini merupakan ide tentang superwaras sebagaimana gagasan yang idolakan oleh masyarakat pramodern dan cita-cita luhur ini sejalan dengan etika sosial yang dibangun dalam peradaban modern yang menempatkan pahlawan sebagai yang “terhormat”.
Patut dipahami bahwa posisi terhormat yang diraih Ni Dyah Tantri bukan hanya karena kecantikan dan kecerdasannya memainkan kode-kode moral melalui cerita berbingkai. Melainkan juga berdasarkan formasi wawasan yang melampaui epistemologi konvensional sebagaimana yang dikenal dalam rancang bangun pengetahuan, baik rasional dan empiris maupun kritis dan intuitif. Ini merupakan tantangan baru bagi masyarakat modern yang memiliki dua kebenaran. Pertama, kebenaran rasional, yakni kebenaran logis dan dapat diterima akal sehat sehingga semua penjelasan yang masuk akal itu benar, meskipun dasar pemikirannya tidak seluruhnya dapat disetujui. Kedua, kebenaran empiris, yakni kebenaran merupakan kesesuaian realitas sehingga kebenaran itu adalah kebenaran peristiwa, pengalaman, perasaan, dan nafsu (Sumardjo, 2007:43). Meletakkan kemasukakalan menjadi landasan ketakmasukakalan pengalaman batin bukanlah permainan mudah, sebagaimana peran yang harus dimainkan Ni Dyah Tantri. Meramu pengetahuan rasional dan empiris dalam bentuk metaforisitas sebagai kondisi dasar antropologis bukan persoalan mudah, tetapi Ni Dyah Tantri tidak begitu sulit mendemontrasikannya. Pengetahuannya tentang kesatuan dan kesucian alam, keluhuran persahabatan manusia, kehebatan persahabatan antara manusia dan binatang, bahkan kemuliaan persahabatan binatang yang melebihi keluhuran persabahatan manusia ini merupakan “permainan bahasa” yang mengatasi Rasionalitas – Pikiran Objektif. Ini merupakan permainan akal-nalar, yakni rasionalitas yang lepas dari bahasa, kultur, dan praktik-praktik sosial sehingga meninggalkan cara kerja manas, ahamkara, dan buddhi sebagaimana teladan yang ditunjukkan Samkhya-Yoga ataupun Nyaya-Waisesika.   
Kepiawaiannya memainkan dawai-dawai sloka Tantri Carita seputar dunia kehidupan binatang merupakan perpaduan permainan dari jenis-jenis pengetahuan yang paling mungkin dikuasai manusia. Pengetahuan yang melampaui pengetahuan rasional dan empiris, bahkan melampaui pemikiran kritis dan kebenaran intuisi. Pengetahuan tentang dunia, hidup, dan manusia yang pada dasarnya di luar kendali dan kontrol epistemologi konvesional sehingga melampaui permainan nafsu, kekuasaan, dan intelektual. Ini merupakan ide tentang Kesadaran Agung, yakni Kesadaran Kosmis. Kesadaran Subjektif yang mengatasi pluktuasi-pluktuasi pikiran dan peran-peran dusta peradaban mana pun. Dengannya Sang Raja harus tunduk dan takluk, bertekuk lutut di sudut kerling “mata” Ni Dyah Tantri. Kerlingan “mata batin”, Kesadaran Subjektif yang mengatasi Pikiran Objektif dan Objek-Objek (nama-rupa inderawi) telah menggeser kepercayaan dan keyakinan Sang Raja dan Ki Patih pada “pandangan-dunia baru”. “Pandangan dunia” yang “kabur” dalam paradoks yang harmonis melalui penyatuan alur-alur logika ke-Alam-an dan ke-Manusia-an serta ke-Binatang-an yang senantiasa merujuk pada ke-Tuhan-an, Realitas Tertinggi. Dunia kehidupan binatang telah menjadi medan pemahaman dunia kehidupan manusia, sebagaimana dalam peradaban modern bahwa manusia lebih mudah menundukkan alam dan binatang daripada dirinya sendiri. Walaupun demikian, Sang Raja dan Ki Patih yang ditakluk-tundukan kemudian, melalui “upacara perkawinan” mereka menjadi yang paling menikmati suka-cita kemenangan permainan itu. Sebagaimana halnya manusia modern, sang pengubah yang mengaku pencipta pada akhirnya, harus tunduk dan takluk pada kenyataan dirinya, Alam.         

5.     Penutup
Feminisme yang diagungkan dalam Tantrayana, ternyata menjadi barang rebutan, bahkan dipertaruhkan dalam Tantri Carita. Kontras yang ditampilkan dalam bentuk pergulatan rasionalitas dan moralitas ini rupanya, mengganggu kemapanan kode budaya dan kode konvensional. Ni Dyah Tantri menjadi barang rebutan, karena itu fenimisnya dilebur sedemikian banal, dilecehkan hingga titik nadir yang paling rendah. Akan tetapi, kepiawaian Ni Dyah Tantri menggunakan kode bahasa dapat mempermainkan kode-kode budaya sehingga waktu semalaman dihabiskan bersama raja bukan untuk memuaskan nafsu birahi raja, melainkan kode bahasa yang dimainkan dapat menjadi penyelamat, bahkan menjadikan dirinya pramiswari. Ini membuktikan bahwa kekuatan mempermainkan kode-kode bahasa dapat menundukkan kode budaya, sebagaimana didemontransikan Ni Dyah Tantri adalah kemenangan feminisme.   

Daftar Kepustakaan
Apsanti. 2003. Bahasa Indonesia Cermin Buruknya Sikap Bangsa, dalam  Kompas 14 Juli 2003.

Beilharz, Peter. 2003. Teori-Teori Sosial. Observasi Kritis terhadap Para Filosof Terkemuka. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Haryatmoko.2002. Kekuasaan Melahirkan Anti Kekuasaan. Menelanjangi Mekanisme dan Teknik Kekuasaan Bersama Foucault dalam Basis, Nomor 01-02.Tahun ke 51, Januari-Februari 2002.

Lubis, Akhyar Yusuf. 2006. Dekonstruksi Epistemologi Modern. Dari
Postmodernisme, Teori Kritis, Poskolonial hingga Cultural Studies. Jakarta : Pustaka Indonesia Satu.

Majumdar, R.C.1998. Ancient India. Delhi : Motilal Banarsidass Publishers Private Limited.

Mantra, Ida Bagus. 2006. Peradaban Lembah Sungai Shindu pernah dimuat dalam Majalah Kala Wrtta, No.6, th III, Nopember 1963, kini diterbitkan dalam buku berjudul Menemui Diri Sendiri. Denpasar : Yayasan Dharma Sastra.

McCarthy, Thomas. 2006. Teori Kritis Jurgen Habermas. Yogyakarta : Kreasi Wacana.

Rabinow, Paul. 2002. Pengetahuan dan Metode Karya-Karya Penting Michel Faucault. Yogyakarta : Jalasutra.

Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Ricoeur, Paul. 2006. Hermeneutika Ilmu Sosial. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Ritzer, George. 2003. Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta : Kreasi Wacana.

Ritzer, George – Goodman, Douglas J. 2005.Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Prenada Media.

Robson,SO.1978. Pengkajian Sastra-sastra Tradisonal Indonesia, Bahasa dan Sastra, Tahun IV, Nomor 6.

Simon, Roger. 2004. Gagasan Gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Storey, John. 2004. Teori Budaya dan Budaya Pop. Memetakan Lanskap Konseptual Cultural Studies. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Sturrock, John. 2004. Strukturalisme Post-strukturalisme dari Levi-Strauss sampai Derrida, terjemahan dari Structuralism and Since. Surabaya : Jawa Post Press.

Sugiono, Muhadi. 2006. Kritik Antonio Gramsci terhadap Pembangunan Dunia Ketiga. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra.  Jakarta, Pustaka Jaya.

Tim Pengkajian Naskah Lontar. 2002. Kajian Naskah Lontar Siwagama. Denpasar : Dinas Kebudayaan Propinsi Bali.

Hidayat, Rachmad. 2004. Ilmu Yang Seksis: Feminisme dan Perlawanan terhadap Teori Sosial Maskulin. Yogyakarta: Jendela.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar